Entri yang Diunggulkan

Jangan Merapikan Tempat Tidur Sebelum Meninggallkan Kamar Hotel

Apa yang biasanya Anda lakukan sebelum check out dari kamar hotel? Selain memastikan tidak ada barang yang tertinggal, tamu hotel yang baik ...

Selasa, 20 Januari 2015

Mengelilingi Kampung Pecinan, Yogyakarta

Sebuah gapura raksasa setinggi sekitar 10 meter tegak menjulang di pintu masuk sebuah kampung yang padat dengan ratusan warga di ruas jalan Malioboro Yogyakarta. Gapura yang didominasi warna merah dan biru itu memuat tulisan dengan tiga bahasa. Aksara Jawa, Mandarin, juga bahasa Indonesia bertulis : Kampoeng Ketandan.
Gapura itu memberi nuansa berbeda di Jalan Malioboro yang selama ini sudah padat dengan pemandangan pertokoan, kaki lima, dan kendaraan bermotor.  Kampung dengan kultur Tionghoa yang kental, tradisi masyarakat yang hidup, serta berbagai sajian kuliner khas akan kita jumpai di kampung itu sebagai wisata nostalgia. Ada aktivitas lain yang dilakukan warga di balik toko-toko yang berdiri di Malioboro. Terutama aktivitas untuk mengelola tradisinya agar semakin kuat, hidup, dan tidak melulu soal perekonomian.
Kampung Pecinan di Yogyakarta ini telah ada sejak zaman Belanda. Menurut sejarah, Kampung Pecinan Ketandan muncul pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Pada masa itu Pemerintah Belanda sedang menerapkan aturan yang membatasi  pergerakan serta membatasi wilayah tinggal mereka. Dengan izin Sri Sultan Hamengku Buwono II, warga Tionghoa tersebut akhirnya dapat menetap di tanah yang terletak di utara pasar Beringharjo, dengan harapan aktivitas pasar terdorong oleh perdagangan mereka.
Kampung Pecinan (kini Jalan Pecinan diganti dengan nama Jalan Ahmad Yani) itu adalah tempat dimulainya kesuksesan pedagang Cina di Yogyakarta. Mengelilinginya, kita akan menjumpai beberapa toko dan kios bersejarah yang berusia puluhan tahun.
Di kawasan Kampung Ketandan ini kita bisa melihat rumah-rumah yang kebanyakan dibangun memanjang ke belakang. Rumah-rumah ini sekaligus digunakan sebagai toko. Sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai pedagang.
Kita bisa memulai perjalanan keliling dari bagian samping kampung itu, tepatnya di jalan sebelah Toko Batik Terang Bulan. Sampai di gang pertama, kita bisa berbelok ke kiri untuk menemukan tempat pengobatan Cina yang cukup legendaris. Di tempat itulah dulu seorang tabib ampuh mengobati penyakit patah tulang, hanya bermodalkan bubuk campuran tanaman obat yang ditempelkan pada permukaan kulit bagian tubuh yang tulangnya patah.
Berjalan keluar dari gang itu dan menuju arah timur, kita bisa menemukan berbagai kios-kios barang dan jasa dengan dinding umumnya berwarna putih. Salah satunya adalah kios permak gigi tradisional Cina yang melayani pemutihan gigi, penambahan aksesoris gigi untuk mempercantiknya hingga bermacam perawatan untuk menjadikannya semakin menawan. Kios jasa perawatan gigi itu biasanya memiliki tembok berwarna krem dengan jendela depan bergambar gigi.
Selain kios jasa perawatan gigi, kita pun bisa menemukan kios-kios yang menjual masakan Cina seperti bakmi, cap cay, kwe tiau dan sebagainya. Kios-kios lain hingga kini bertahan dengan barang dagangan bahan-bahan kue, bakal pakaian, aksesoris dan sembako.
Dari toko Terang Bulan, bila kita berjalan ke barat, tepatnya menyusuri Jalan Pajeksan, kita juga akan menemui kios-kios serupa. Namun yang khas, di ujung jalan itu kita akan menemui rumah yang digunakan sebagai tempat berkumpul anggota Perhimpunan Fu Ching. Perhimpunan itu beranggotakan warga Indonesia keturunan Tionghoa yang tinggal atau berdagang di wilayah itu. Pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada hari raya Imlek, anggota perhimpunan itu menggelar acara kesenian tradisional Cina.
Menuju ke arah selatan dari toko batik Terang Bulan, kita akan menemui sebuah toko roti bernama 'Djoen'. Sejak hampir seratus tahun lalu, toko bernama lengkap 'Perusahaan Roti dan Kuwe Djoen' itu telah menjadi kebanggaan masyarakat Jogja. Ketuaan usianya bisa dilihat jika kita berdiri di seberang jalannya, ditandai dengan nama toko yang tertulis di temboknya, sebuah ciri toko-toko di kawasan itu pada masa lalu. Kini, produknya telah menyesuaikan dengan selera pasar dengan mempertahankan beberapa yang khas, misalnya kue bantal, yaitu roti tawar bertabur wijen yang berbentuk pipih oval.
Sampai di kawasan Lor Pasar, kita bisa menemui kios-kios tradisional yang menjual berbagai kebutuhan, mulai dari elektronik, peralatan menjahit dan aksesoris pakaian, peralatan memasak hingga perhiasan emas. Kawasan ini sejak lama telah dikenal masyarakat Jogja sebagai salah satu tempat mendapatkan kebutuhan dengan harga murah. Selain menjual barang-barang baru, beberapa kios juga menjual barang bekas.
Di kawasan Pecinan yang terletak di seberang Pasar Beringharjo, terdapat sebuah toko obat yang sudah cukup lama berdiri, yaitu 'Toko Obat Bah Gemuk'. Di toko obat itulah dijual berbagai macam obat tradisional Cina.
Sejak tahun 2006, seiring dengan reformasi Indonesia, menjelang Tahun Baru Imlek, warga Kampung Ketandan mengadakan Pekan Budaya Tionghoa. Festival yang digelar oleh Pemerintah Kota Yogyakarta ini digelar sebagai bentuk upaya mempertahankan identitas Kampung Pecinan Ketandan.
Kita bisa dengan mudah mengunjungi kampung Pecinan ini karena letaknya yang strategis di tengah kota, yaitu di sisi selatan kawasan Malioboro, atau di sebelah utara Pasar Beringharjo. Dan Kampung Ketandan berada di sebelah tenggara perempatan Jalan Malioboro - Jl. Jend A Yani - Jl. Pajeksan - Jl. Suryatmajan. kita bisa memulai perjalanan keliling dari bagian samping kampung itu, tepatnya di jalan sebelah Toko Batik Terang Bulan.
Mungkin sebaiknya kita berkunjung ke Kampung Ketandan saat perayaan Tahun Baru Imlek. Kita dapat melihat berbagai persembahan mulai dari kesenian khas Tionghoa sampai kuliner.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

OXY Drinking Water