Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama. Beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang artinya Raja (yang) wafat (di) Krapyak. Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsang. Pada masa pemerintahan Mas Rangsang, Mataram mengalami masa keemasan.
Dalam perkembangan selanjutnya Kotagede tetap ramai meskipun sudah tidak lagi menjadi ibukota kerajaan. Wilayah Kecamatan Kotagede sebagian, dulu merupakan bagian dari bekas Kota Kotagede ditambah dengan daerah sekitarnya. Sedangkan bagian lain dari bekas Kota Kotagede berada di wilayah Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul. Berbagai peninggalan sejarah seperti makam para pendiri kerajaan, Masjid Kotagede, rumah-rumah tradisional dengan arsitektur Jawa yang khas, toponim perkampungan yang masih menggunakan tata kota jaman dahulu, hingga reruntuhan benteng bisa ditemukan di Kotagede.
Tata kota kerajaan Jawa biasanya menempatkan kraton, alun-alun dan pasar dalam poros selatan - utara. Kitab Nagarakertagama yang ditulis pada masa Kerajaan Majapahit (abad ke-14) menyebutkan bahwa pola ini sudah digunakan pada masa itu. Pasar tradisional yang sudah ada sejak jaman Panembahan Senopati masih aktif hingga kini. Setiap pagi legi dalam kalender Jawa, penjual, pembeli, dan barang dagangan tumpah ruah di pasar ini. Bangunannya memang sudah direhabilitasi, namun posisinya tidak berubah. Bila ingin berkelana di Kotagede, kita bisa memulainya dari pasar ini lalu berjalan kaki ke arah selatan menuju makam, reruntuhan benteng dalam, dan beringin kurung.
Kita akan melewati 3 gapura sebelum sampai ke gapura terakhir yang menuju bangunan makam. Untuk masuk ke dalam makam, kita harus mengenakan busana adat Jawa (bisa disewa di sana). Pengunjung hanya diperbolehkan masuk ke dalam makam pada Hari Minggu, Senin, Kamis, dan Jumat pukul 08.00 - 16.00. Untuk menjaga kehormatan para pendiri Kerajaan Mataram yang dimakamkan di sini, pengunjung dilarang memotret / membawa kamera dan mengenakan perhiasan emas di dalam bangunan makam. Di dalam makam ini terdapat beberapa museleum yang berasitektur tradisional Jawa berisi pusara atau disebut kijing dalam bahasa Jawa yang terbuat dari marmer asli, berumur ratusan tahun yang masih tetap terpelihara sampai saat ini. Tokoh-tokoh penting yang dimakamkan di sini meliputi: Sultan Hadiwiijaya, Ki Gede Pemanahan, Panembahan Senopati, dan keluarganya. Namun komplek makam raja-raja Mataram selanjutnya dipindahkan ke daerah Imogiri oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo saat masa pemerintahannya.
Berkelana ke Kotagede tidak akan lengkap jika tidak berkunjung ke Masjid Kotagede, masjid tertua di Yogyakarta yang masih berada di kompleks makam. Di kompleks Masjid Besar Mataram ini terasa masih seperti di lingkungan kraton, lengkap dengan pagar batu berelief mengelilingi mesjid, pelataran yang luas dengan beberapa pohon sawo kecik, serta sebuah bedug berukuran besar. Setelah itu tak ada salahnya untuk berjalan kaki menyusuri lorong sempit di balik tembok yang mengelilingi kompleks makam untuk melihat arsitekturnya secara utuh dan kehidupan sehari-hari masyarakat Kotagede.
Persis di seberang jalan dari depan kompleks makam, kita bisa melihat sebuah rumah tradisional Jawa. Namun bila mau berjalan 50 meter ke arah selatan, kita akan melihat sebuah gapura tembok dengan rongga yang rendah dan plakat yang yang bertuliskan "cagar budaya". Masuklah ke dalam, di sana kita akan melihat rumah-rumah tradisional Kotagede yang masih terawat baik dengan nuansa kekunoannya dan benar-benar berfungsi sebagai rumah tinggal.
Berjalan ke selatan sedikit lagi, kita akan melihat 3 Pohon Beringin berada tepat di tengah jalan. Di tengahnya ada bangunan kecil yang menyimpan "watu gilang", sebuah batu hitam berbentuk bujur sangkar yang permukaannya terdapat tulisan yang disusun membentuk lingkaran.
Dalam bangunan itu juga terdapat "watu cantheng", tiga bola yang terbuat dari batu berwarna kekuning-kuningan. Masyarakat setempat menduga bahwa "bola" batu itu adalah mainan putra Panembahan Senapati. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa benda itu sebenarnya merupakan peluru meriam kuno
Panembahan Senopati membangun benteng dalam (cepuri) lengkap dengan parit pertahanan di sekeliling kraton, luasnya kira-kira 400 x 400 meter. Reruntuhan benteng yang asli masih bisa dilihat di pojok barat daya dan tenggara. Temboknya setebal 4 kaki terbuat dari balok batu berukuran besar. Sedangkan sisa parit pertahanan bisa dilihat di sisi timur, selatan, dan barat.
Sebagai kota tua bekas Ibukota kerajaan, Kota Kotagede merupakan kota warisan (heritage) selain dalam perkembangan berikutnya dikenal sebagai daerah dengan kerajinan peraknya yang terletak di sepanjang jalan Kemasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar