Entri yang Diunggulkan

Jangan Merapikan Tempat Tidur Sebelum Meninggallkan Kamar Hotel

Apa yang biasanya Anda lakukan sebelum check out dari kamar hotel? Selain memastikan tidak ada barang yang tertinggal, tamu hotel yang baik ...

Senin, 17 November 2014

Rumah Adat Karo Desa Lingga Yang Hampir Punah di Sumatera Utara

Lingga adalah salah satu desa yang menjadi daerah tujuan wisata di Kabupaten Karo Sumatera Utara yang terletak di ketinggian sekitar 1.200 m dari permukaan laut, lebih kurang 15 km dari Brastagi dan 5 km dari Kota Kabanjahe ibu kabupaten Karo. Lingga merupakan perkampungan Karo yang unik, memiliki rumah-rumah adat yang diperkirakan berumur 250 tahun, tetapi kondisinya masih kokoh. Rumah tersebut dihuni oleh 6-8 keluarga yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Rumah adat Karo ini tidak memiliki ruangan yang dipisahkan oleh pembatas berupa dinding kayu atau lainnya.
Pada zaman dahulu desa Lingga terbagi dalam beberapa sub desa yang disebut kesain, kesain merupakan pembagian wilayah desa yang namanya disesuaikan dengan marga yang menempati wilayah tersebut. Nama-nama kesain di desa Lingga adalah : Kesain Rumah Jahe, Kesain Rumah Bangun, Kesain Rumah Berteng, Kesain Rumah Julu, Kesain Rumah Mbelin, Kesain Rumah Buah, Kesain Rumah Gara, Kesain Rumah Kencanen, Kesain Rumah Tualah, kesemuanya merupakan kesain milik marga/ klan Sinulingga. Merga Karo-karo Sinulingga adalah kelompok merga yang memanteki(mendirikan) desa Lingga dan keturunannya juga dimasa aristokrak berbiak merupakan kaum Sibayak (raja, penguasa, si kaya, yang dimuliakan, bangsawan) di Lingga dengan gelar Sibayak Lingga. Sedangkan untuk non Sinulingga hanya terdiri dari tiga bagian yaitu: Kesain Rumah Manik, Kesain Rumah Tarigan, Kesain Rumah Munte. 
Pemakaian nama-nama kesain masih dipakai hingga saat ini oleh sebagian penduduk. Saat ini seiring dengan pertumbuhan penduduk Desa Lingga telah terbagi dua ditinjau dari segi wilayah dan juga penyebutan oleh penduduk setempat dan penduduk desa sekitar yaitu Lingga Lama dan Lingga Baru, Lingga Lama atau sering juga disebut Desa Budaya Lingga adalah wilayah desa yang awal, sedangkan Lingga Baru merupakan desa bentukan pemerintah untuk merelokasi penduduk dan membentuk suatu bentuk perkampungan yang lebih tertata, awalnya wilayah ini dibuat untuk merelokasi perumahan penduduk yang dikhawatirkan akan mengganggu kelestarian dan ketradisionilan Lingga Lama sebagai sebuah Desa Budaya.
Desa Lingga memiliki bangunan tradisional seperti: rumah adat, jambur, geriten, lesung, sapo page (sapo ganjang) dan museum karo. Geriten, digunakan sebagai tempat penyimpanan kerangka jenazah keluarga atau nenek (leluhur) sang pemilik. Rumah adat Karo mempunyai ciri serta bentuk yang sangat khusus, didalamnya terdapat ruangan yang besar dan tidak mempunyai kamar-kamar. Satu rumah dihuni 8 atau 10 keluarga. Rumah adat berupa rumah panggung, tingginya kira-kira 2 meter dari tanah yang ditopang oleh tiang, umumnya berjumlah 16 buah dari kayu ukuran besar. Kolong rumah sering dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan kayu dan sebagai kandang ternak. Rumah ini mempunyai dua buah pintu, satu menghadap ke barat dan satu lagi menghadap ke sebelah timur. Di depan masing-masing pintu terdapat serambi, dibuat dari bambu-bambu bulat (disebut ture). Ture ini digunakan untuk tempat bertenun, mengayam tikar atau pekerjaan lainnya, pada malam hari ture atau serambi ini berfungsi sebagai tempat naki-naki atau tempat perkenalan para pemuda dan pemudi untuk memadu kasih. Atap rumah dibuat dari ijuk. Pada kedua ujung atapnya terdapat anyaman bambu berbentuk segitiga, disebut ayo-ayo. Pada puncak ayo-ayo terdapat tanduk atau kepala kerbau dengan posisi menunduk ke bawah. Rumah adat Karo dinamakan siwaluh jabu (waluh = delapan, jabu = keluarga/ bagian utama rumah/ ruang utama). Bangunan berbentuk rumah panggung itu, pada waktu dulu kala menjadi rumah tinggal masyarakat Karo. Tiang-tiang penyangga rumah panggung, dinding rumah, dan beberapa bagian atas, semuanya terbuat dari kayu. Bagian semacam teras rumah -juga berbentuk panggung-, tangga naik ke dalam rumah, dan penyangga atap, terbuat dari bambu. Sedangkan atap rumah sendiri, semuanya menggunakan ijuk. Di bagian paling atas atap rumah adat, kedua ujung atap masing-masing dilengkapi dengan dua tanduk kerbau. Tanduk itu dipercaya penduduk sebagai penolak bala. Satu rumah ditinggali oleh lebih dari satu KK (kepala keluarga), dalam satu ruangan besar.
Dapur bagi masyarakat Karo juga mempunyai arti. Tungku tempat menaruh alat memasak, terdiri atas lima buah batu. kelima batu menandakan adanya lima marga dalam suku Karo yang mendiami Lingga, yakni Karo-Karo, Ginting, Sembiring, Tarigan, dan Peranginangin.
Selain rumah siwaluh jabu, bangunan-bangunan tradisional Karo yang ada atau pernah ada di Desa Lingga adalah kantur-kantur, sapo ganjang, griten, lesung, Museum Lingga . Rumah adat-rumah adat ini menjadi pelengkap dari satu komunitas masyarakat Karo dahulu kala. Seperti juga siwaluh jabu, semua bangunan ini berbentuk rumah panggung.
Bentuk bangunan Jambur mirip dengan rumah adat, tetapi jambur bukan merupakan bangunan berpanggung dan tidak berdinding, digunakan sebagai tempat penyelenggaraan pesta bagi masyarakat juga sebagai tempat musyawarah, tempat mengadili orang-orang yang melanggar perintah raja dan adat yang berlaku. Jambur juga merupakan tempat tidur bagi pemuda-pemuda selain sapo ganjang.

Kantur-kantur bisa dikatakan merupakan kantor Raja pada saat itu adalah gedung pertemuan antara Raja dengan pemuka-pemuka masyarakat Desa , untuk memecahkan berbagai masalah,letaknya di sebelah timur dari "rumah raja". Bentuknya lebih jauh lebih kecil dibandingkan siwaluh jabu.
Sapo ganjang bentuknya hampir sama dengan kantur-kantur, tapi dalam ukuran sedikit lebih kecil lagi. Bentuk Sapo Page adalah seperti rumah adat. Letaknya di halaman depan rumah adat. Tiap-tiap Sapo Page milik dari beberapa jambu atas rumah adat. Sama dengan Geriten, Sapo Page terdiri dari dua tingkat dan berdiri di atas tiang . Lantai bawah tidak berdinding. Ruang ini digunakan untuk tempat duduk-duduk, beristirahat dan sebagai ruang tamu. Lantai bagian atas mempunyai dinding untuk menyimpan padi. Di samping adanya lumbung padi milik bersama yang berbentuk rumah, ada pula lumbung padi milik tiap-tiap keluarga . Lumbung ini terbuat dari anyaman bambu, berbentuk silinder besar. Letaknya di bawah lantai tiap-tiap jambu atau belakang rumah.
Geriten juga berbentuk seperti rumah adat, tetapi bentuknya jauh lebih kecil dan mempunyai empat sisi. Geriten berdiri di atas tiang, mempunyai dua lantai. Lantai bawah tidak berdinding sedang lantai di atasnya berdidnding. Di lantai yang bawah ini terdapat sebuah pintu. Dan dari pintu inilah dimasukkan kerangka orang yang telah meninggal. Geriten berfungsi untuk menyimpan kerangka atau tulang-tulang sanak keluarga pemilik griten yang telah meninggal di bagian atasnya sedangkan bagian bawah merupakan tempat duduk atau tempat berkumpul bagi sebagian warga, terutama kaum muda. Griten ini merupakan tempat bertemunya seorang pemuda dengan sang gadis untuk saling lebih mengenal antara satu dengan yang lainnya.
Lesung adalah bangunan yang biasa digunakan oleh penduduk zaman dahulu untuk menumbuk padi, dan juga menumbuk beras menjadi tepung karena pada zaman dahulu belum ada mesin gilingan seperti saat ini. Bangunan Lesung merupakan suatu bangunan panggung yang dipasangi dua buah kayu besar yang memanjang dari sisi utara sampai kesisi selatan bangunan, dimana pada kedua sisi kayu tersebut telah dibuatkan lubang lesung dengan jarak yang disesuaikan. Lesung ini dibuat dari kayu pengkih sejenis kayu keras, lesung tersebut mempunyai tiga puluh empat buah lubang tempat menumbuk padi. Letak lubang ada yang berpasang-pasang dan ada pula yang sebaris memanjang. Lesung ini terletak dalam sebuah bangunan berpanggung yang tidak berdinding. Bangunan ini mempunyai enam buah tiang-tiang besar, tiga sebelah kanan yang disebut binangun Pinem. Di sebelah atas terdapat tiga buah tiang yang membujur ke belakang tekang. Di antara tekang dan Binangun Pinem terdapat tiga lembar papan tebal sebagai penghubung supaya kuat Di atas tekang terdapat empat buah tiang yang disebut tula-tula, dan sebuah tiang yang menjulang ke atas atap disebut tunjuk langit. Pada tunjuk langit ini terdapat tiga buah tiang memalang dan lima buah yang sejajar dengan tekang yang disebut pamayong. Antara tekang dengan binangun pinem terdapat kain putih, yang gunanya untuk menghormati roh-roh penjaga rumah. Dan untuk penyangga tiang supaya jangan mudah ambruk apabila angin topan datang, sehingga bangunan tidak mudah roboh.
Museum Lingga disebut Museum Karo Lingga, di tempat ini banyak disimpan benda- benda tradisional Karo seperti capah (piring kayu besar untuk sekeluarga), tungkat/ tongkat, alat-alat musik dan lain sebagainya, walau koleksi dari museum ini masih jauh dari lengkap, akan tetapi, setidaknya kita sudah mendapat sedikit gambaran tentang kehidupan masyarakat Karo, khususnya dimasa lampau.
Tapi saat ini kebanyakan dari bangunan-bangunan di atas telah punah dan tidak bisa ditemukan lagi di Desa Lingga, yang tersisa hanya beberapa saja antara lain beberapa rumah siwaluh jabu, griten, kantur-kantur dan Museum Lingga yang dibangun paling belakangan.
Untuk menuju ke Desa Lingga, jika memulai perjalanan dari kota Medan, langsung saja mengarah ke kota Berastagi dan melewati Pajak. Sesampainya di persimpangan empat yang terdapat sebuah Tugu Kol, langsung saja berbelok ke kanan. Dari sana akan terlihat papan penunjuk arah ke Desa Lingga. Terus saja mengikuti jalur utama. Tiba di persimpangan empat dekat kantor Camat, belok kiri.  Terus saja akan ketemu simpang tiga yang di pinggir jalannya terdapat Tugu Sibayak Lingga, belok kanan. Lanjutkan sampai di gerbang bertuliskan menjuah-juah, ikuti jalan yang ada, sampailah di tempat tujuan.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

OXY Drinking Water