Sastra pedalangan adalah rekabahasa dalang dalam pakeliran atau pergelaran wayang. Rekabahasa dalang tersebut adalah murwa atau pelungan, nyandra janturan dan pocapan, suluk, antawacana, sabetan, suara, dan tembang.
Suluk pembuka pakeliran wayang, dalam pedalangan Jawa Timur dikenal dengan istilah pelungan, di Jawa Tengah dikenal dengan istilah ilahengan, dan di Jawa Barat dikenal dengan istilah murwa. Nyandra adalah deskripsi adegan dengan menggunakan bahasa prosa pakeliran wayang. Ada dua jenis nyandra, yaitu janturan dan pocapan. Janturan adalah nyandra yang diiringi gamelan; sedangkan pocapan tidak diiringi gamelan. Pocapan adalah nyandra yang tidak diiringi gamelan untuk menceritakan peristiwa dalam adegan. Suluk adalah citra bahasa puisi yang dinyanyikan oleh ki dalang dalam pakeliran wayang. Antawacana adalah dialog antar-tokoh wayang. Sedangkan antawacana antara tokoh wayang dengan nayaga, wirasuara, atau jurukawih dinamakan dialog samping (aside). Antawacana biasanya disampaikan setelah pocapan. Sabetan adalah gerak wayang yang meliputi tarian, lakuan, dan lagaan. Tari wayang adalah gerak wayang yang diiringan nyanyian dan gamelan. Lakuan adalah gerak wayang yang hanya diiringan kecrek atau kendang. Sedangkan lagaan adalah gerak wayang dalam peperangan baik dengan iringan gamelan maupun hanya diiringi kecrek dan kendang. Dasar gerakan wayang dalam tetekon pedalangan Sunda, meliputi: gejlig, gedut, keupat dan gedig. Serta tiap jenis tokoh wayang berbeda dalam memainkannya. Misalnya dalam gerakan tarian, golongan satria dimainkan dengan cara memegang tuding (gagang tangan wayang) dari belakang. Sedangkan untuk golongan ponggawa tuding dipegang dari depan. Dalam tarian (ibingan) wayang, pamirig atau pengiring lagu juga berbeda untuk setiap tokoh. Misalnya tokoh cakil (dalam pedalangan Sunda) diiringi dengan lagu Bendrong. Ibingan satria diiringi oleh gending Gawil. Untuk punggawa, bisa dengan solontongan. Namun khusus untuk tokoh Gatotkaca harus dengan lagu Macan Ucul. Suara dapat berupa teriakan, jeritan, aduhan, tobatan, atau bunyi tiruan yang berupa onomatopia. Suara merupakan pelengkap sabetan lagaan. Tembang adalah nyanyian yang dilantunkan oleh pesinden, wirasuara, atau dalang. Tembang pembuka pakeliran dilantunkan oleh pesinden. Tembang pengiring pakeliran dilantunkan oleh pesinden dan wirasuara. Tembang dalam adegan Limbukan dan Gara-gara dilantunkan oleh dalang yang berkolaborasi dengan pesinden atau bintang tamu. Mantra atau sastra mantra pedalangan ada dua kategori. Pertama, mantra yang berupa doa ki dalang dalam penyelenggaraan pakeliran. Kedua, mantra yang berupa rapalan tokoh wayang dalam mengeluarkan kesaktiannya. Pakem tehnik perkeliran atau wewaton tehnik perkeliran itu setiap daerah atau setiap gaya tentu ada dan sudah barang tentu tidak dapat diabaikan sama sekali. Hal itu erat sekali hubungannya dengan perasaan indah yang hidup di masing-masing daerah. Misalnya perkeliran gaya Solo berbeda dengan gaya Yogya. Berbeda pula dengan gaya Banyumas, Tegal, Jawa Timur, dll. Mungkin hal ini ada sangkut-pautnya dengan falsafah hidup dalam masyarakat itu sendiri-sendiri.
Pada hakekatnya wewaton tehnik pakeliran seni pedalangan yang demikian itu, tidak hanya sekedar membuat wewaton, akan tetapi wewaton tersebut mengandung arti yang lebih dalam lagi yaitu merupakan kias atau saloka yang mengandung mitologi Jawa yang luhur. Adapun keterangannya demikian, dasar terbagi tiga itu, mengandung maksud “Triwikrama” yang artinya melangkah tiga kali : purwa, madya dan wasana/metu, manten, mati. Triwikrama mengandung pengertian kehidupan manusia di dunia, yang mengalami 3 masa : masa kanak-kanak, masa dewasa dan masa tua lalu kemudian wafat. Mitos tersebut meyakini benar-benar bahwa yang disebut mati itu sebenarnya hanya peristiwa berpisahnya badan halus dan kasar/raga dan sukma - jasmani dan rohani (roh) dalam mitos tersebut yang berfaham Hindu. Surga itu ada 9 tingkatan, untuk itu pagelaran seni pedalangan sering terdengar kata-kata “swarga tunda sanga”. Sedangkan surga tingkat kesembilan disebut “mokswa". Sukma dari orang yang meninggal apabila dalam keadaan suci, pertama-tama masuk ke dalam surga tingkat pertama, untuk melanjutkan ke tingkat surga kedua sukma tersebut harus mengalami lahir lagi di dunia dan harus ditingkatkan lagi kesuciaannya dari pada wadah hidup yang pertama, dalam istilah Jawa disebut “ Tumimba Lahir “ / Reincarnatie. Dalam paham ini manusia tentu mempunyai keinginan untuk mencapai surga ke tingkat kesembilan yang disebut Muksa tadi, untuk itu diperlukan “ Tumimba Lahir “ sampai tujuh kali lagi. ( dalam sumber buku pewayangan sering kita jumpai kata-kata “ Manjanmo Kaping Pitu “ ). Demikianlah wewaton jejeran tujuh kali dan adegan perang tujuh kali menurut pegelaran seni pedalangan gaya Yogyakarta merupakan perlambang Tumimba Lahir tujuh kali, untuk mendapatkan kesuciaan yang sempurna lalu muksa.
Cerita pedalangan bersumber pada cerita pakem, carangan, gubahan dan sempalan. Cerita pakem itu sebagian besar ceriteranya mengambil dari sumber-sumber ceritera dari perpustakaan wayang, misalnya : lakon Bale Sigala-gala, Pandawa Dadu, Baratayuda, Rama Gandrung, Subali Lena, Anoman Duta, Brubuh Ngalengka dll. Cerita carangan hanya garis pokoknya saja yang bersumber pada perpustakaan wayang, diberi tambahan atau bumbu-bumbu berupa carangan (carang Jw = dahan), seperti lakon-lakon : Babad Alas Mertani, Partakrama, Aji Narantaka, Abimanyu Lahir dll. Gubahan itu ialah cerita yang tidak bersumber pada buku-buku ceritera wayang, tetapi hanya menggunakan nama dan negara-negara dari tokoh-tokoh yang termuat dalam buku-buku ceritera wayang, misalnya lakon-lakon: Irawan Bagna, Gambir Anom, Dewa Amral, Dewa Katong dsb. Sempalan itu ialah suatu cerita yang sama sekali lepas dari ceritera wayang yang terdapat dalam buku-buku sumber ceritera wayang, misalnya lakon-lakon : Praja Binangun, Linggarjati, dsb. Dalam lakon Praja Binangun tersebut diketengahkan nama tokoh-tokoh wayang seperti : Ratadahana (Jendral Spoor), Kala Miyara (Meiyer), Dewi Saptawulan (Juliana), Bumiandap (Nederland) dsb.
Adapun sumber ceritera wayang itu ada 2 macam, sumber-sumber ceritera wayang yang berupa buku-buku, misalnya : Maha Bharata, Ramayana, Serat Pustaka Rajapurwa lakon wayang gagrak Surakarta, Serat Purwakandha lakon wayang gagrak Yogjakarta, dll dan sumber-sumber ceritera wayang yang semula berasal dari lakon carangan atau gubahan yang telah lama disukai oleh masyarakat. Sumber-sumber ceritera ini disebut “pakem purwa-carita” yang kini sudah banyak juga yang dibukukan, misalnya lakon-lakon: Abimanyu Kerem, Doraweca, Suryatmaja Maling dlsb. Kalau ditilik dari sejarahnya, induk/sumber ceritera wayang itu, baik Ramayana maupum Maha Bharata, kedua-duanya itu merupakan Weda (kitab suci) agama Hindu yang kelima, yang disebut Panca Weda. Kedua kitab tersebut memuat pelajaran Weda yang disusun berujud ceritera. Serat Ramayana ditulis oleh Resi Walmiki menceriterakan pelaksanaan karya Awatara Rama untuk mensejahterakan dunia. Serat Maha Bharata ditulis oleh Resi Wyasa, menceriterakan pelaksanaan karya Awatara Krisna juga untuk mensejahterakan dunia
Sedangkan untuk wayang madya dan wayang wasana bersumber pada cerita-cerita babad. Wayang wahyu bersumber pada cerinta-cerita Injil. Keanekaragaman sumber cerita sastra pedalangan menunjukan kekayaan budaya pewayangan Indonesia.
Seni pedalangan gaya Yogyakarta bisa kita lihat setiap malam dalam pagelaran wayang kulit di Museum Sonobudoyo, Jl Trikora 6 Yogyakarta pukul 20.00 - 22.00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar