Pulau ini memang bukanlah pulau yang telah terkenal dan menjadi tujuan wisata, bahkan di Sulawesi Tenggara sendiri gaungnya kalah jauh dengan wisata sejarah kerajaan Buton dan diving resort di Wakatobi. Tetapi, di Kabaena inilah terdapat berbagai pemandangan indah yang jarang terungkap dan tempat yang unik serta eksotis yang tidak terdapat di tempat lain.
Keindahan pulau ini dimulai dari Talaga Raya, sebuah pulau-kecamatan yang terletak di bagian tenggara Kabaena. Pulau Talaga Kecil yang tersusun dari batugamping ini bila dilihat dari arah Desa Wulu di seberang daratan Kabaena, berbentuk piring terbalik sempurna sehingga tampak seolah-olah seperti UFO yang mendarat di perairan. Selain keunikan bentuknya, panorama pulau dan desa di dalamnya sangat indah. Laut dangkal kehijauan dengan pasir putih mengkilap terserak mengitari pulau dan di beberapa tempat terdapat terumbu karang yang belum terjamah. Saat matahari tenggelam di ufuk barat, paduan rona jingga, dermaga tua dan perahu-perahu yang tertambat menghasilkan sensasi pemandangan yang indah.
Di seberang Talaga tampak Desa Wulu yang terdiri dari dua ratusan rumah sederhana yang berjejer sepanjang pantai berpasir putih di antara naungan pepohonan kelapa. Menuju ke bagian barat Wulu hingga ke ujung pulau, terdapat Desa Kokoe di bagian baratdaya Kabaena. Desa yang dihuni kaum Bugis ini letaknya di semenanjung Kokoe, suatu tanjung yang berbentuk unik dan indah. Desa ini berada di bagian leher yang selalu terbuka dan padat, karena jalur transportasi satu-satunya ke desa ini hanya melalui laut, di saat ombak besar maka mustahil desa ini dapat terjangkau. Menyusuri pantai sepanjang Wulu hingga Kokoe, pemandangan hamparan pasir putih dengan air laut dangkal yang jernih membiru serta hijaunya pepohonan melambai yang membentengi perbukitan tertoreh menjulang sungguh sedap dipandang mata.
Melanjutkan perjalanan ke utara Talaga, sekitar satu jam perjalanan laut menggunakan speedboat, tibalah di Dongkala yang merupakan ibukota kecamatan Kabaena Timur. Kota ini masuk dalam jalur perjalanan ferry penyeberangan dengan rute Bau-Bau – Dongkala – Mawasangka (di Pulau Muna). Dongkala terletak di sebuah teluk yang dilindungi dua buah pulau di bagian mulutnya sehingga saat musim angin timur gelombang tinggi tidak sampai menyapu daerah pantai. Air di sini jernih membiru dengan dasar pasir putih dan ganggang laut hijau yang terserak di mana-mana, sangat indah dipandang tengah hari saat matahari bersinar hingga menembus dasar. Di pinggir utara, terdapat puluhan rumah suku Bajo yang sangat terkenal akan kehandalannya sebagai nelayan ulung di laut. Lepas dari Dongkala, kita menuju ke arah barat menyusuri jalan tanah berbatu. Di sepanjang perjalanan kita akan disuguhi pemandangan desa yang apik, halaman yang bersih dan rumah yang tertata baik. Di bagian tengah Kabaena, kita akan menemui banyak desa yang penduduknya dipercaya masih keturunan dari Suku Tolaki daratan Sulawesi. Tidak mengherankan bila melewati jalur ini, kita akan menemui penduduk desa yang rata-rata berkulit putih, rambut lurus dan berparas manis. Suasana di desa-desa ini terasa jauh berbeda hingga seolah-olah kita tidak sedang melewati daerah Sulawesi Tenggara karena perbedaan raut wajah para penduduknya. Tidak seperti penduduk di daerah pesisir Kabaena yang bermata pencaharian utamanya sebagai nelayan, di bagian tengah Kabaena rata-rata penduduknya berkebun jambu mete ataupun gula nira sebagai sumber penghidupan. Kira-kira setengah jam dari Dongkala, kita mulai melewati daerah perbukitan kaki Sambapolulu. Puncak tertinggi di Kabaena ini memiliki memiliki ketinggian 1.570 m dan hampir setiap saat puncaknya tertutup awan.
Tepat satu jam perjalanan kita akan mendapati lokasi pemandian dan pencucian masyarakat setempat. Ulungkura, demikian nama daerah ini dan satu jam berjalan kaki dengan medan trekking ringan menyusuri sungai ke hulu kita akan menemukan air terjun yang begitu indah. Tidak tanggung-tanggung, air terjun atau air jatuh begitu orang setempat menyebutnya ini terdiri dari tujuh tingkat dengan air yang sungguh-sungguh jernih. Tempat ini pun masih sepi dari pengunjung dan jalan akses masuk hanya seadanya, hanya ramai di hari libur besar seperti lebaran sehingga kebersihan tempat ini sangat terjaga. Dua tingkat pertama air terjun ini gampang untuk diraih, namun tingkat selanjutnya mengharuskan kita menaiki tebing curam dengan jarak yang lumayan jauh sehingga sulit diakses dengan perlengkapan seadanya. Pepohonan rimbun dan tetumbuhan anggrek banyak menghiasi lokasi ini, menaungi gemuruh air terjun yang jernih yang menyegarkan rasanya di kerongkongan.
Selepas Ulungkura, kita akan melewati daerah morfologi bukit yang berjajar berderet sepanjang jalan. Salah satu tempat yang unik adalah di daerah Lengora. Di sebelah kiri, kita akan disuguhi pemandangan terbing terjal batugamping yang sangat memukau. Tebing ini memanjang sejauh kira-kira satu kilometer dengan ketinggian kurang-lebih 200 meter dari permukaan tanah. Lekuk-lekuk menantang tebing abu-abunya dan garis-garis tegak tertoreh sebagai produk proses geologi berupa sesar vertikal sungguh gagah dipandang mata. Banyak mahasiswa pencinta alam baik dari Sulawesi maupun dari Jawa yang rutin datang ke tempat ini setiap tahun untuk menaklukkan tebing vertikalnya. Di bagian kaki tebing terdapat gua yang unik, tidak jelas asal-usul peruntukan gua tersebut namun di dalamnya terdapat ruangan tidur, dapur dan lain-lain layaknya rumah tinggal biasa. Jelajah gua ini dimungkinkan dan dapat menggunakan jasa pemandu lokal.
Meneruskan perjalanan, kita akan tiba di Desa Tedubara yang terletak di kaki bawah Gunung Sangiang. Gunung dengan ketinggian 1.000-an m ini terkenal akan keindahan serta keunikan puncaknya, yang sekilas mirip dengan wajah manusia yang sedang menengadah. Tepat di apit di lereng atas Sangiang dan Gunung Tangkeno di sebelah selatannya, terdapat desa tertinggi di Kabaena yaitu Tangkeno yang memiliki ketinggian 550 m dpl. Pemandangan di desa ini sunggguh indah, diapit hijaunya perbukitan menjulang dengan horizon laut di kejauhan. Keindahan desa dan keramahan penduduk daerah ini diabadikan dalam dendangan lagu daerah khas Sulawesi Tenggara. Kembali ke Tedubara, desa ini adalah juga menjadi simpang perjalanan menuju Sikeli di Kabaena Barat dan Phising di Kabaena Utara. Phising dapat ditempuh sejauh satu jam ke arah utara, berupa sebuah desa nelayan dengan rumah-rumah yang sederhana namun memiliki pemandangan teluk membiru indah yang diapit perbukitan di sekelilingnya. Perjalanan sepanjang Tedubara hingga Phising melewati kaki bukit dan hutan yang sebagian sudah dihuni oleh para transmigran.
Ujung barat pulau Kabaena adalah Sikeli, kota kecamatan yang terletak di pinggir laut. Pemandangan khas desa nelayan yang indah terbentang di pesisir dengan sebagian rumah dari Suku Bajo dibangun di atas tumpukan batugamping yang disusun, merangkai pemandangan indah di saat matahari terbenam. Kota Sikeli ini merupakan kota paling ramai di Kabaena dan jalur pelayaran dari Makassar-Sulawesi Selatan pun terbuka di sini. Sikeli adalah tujuan akhir sebagai penutup perjalanan lintas Kabaena ini.
Sumber : kabaenamoronene.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar